Momen Puitik

Bila ada gelas bening bermotif bunga jatuh ke lantai, pecah berkeping-keping menyisakan suara denting, momen puitik berada di sana—ketika gelas menyentuh lantai hingga terdengar suara denting dan pemandangan gelas pun berubah menjadi pecahan-pecahan beling.

Dan ketika seseorang menyesali kecerobohannya kemudian memandang getir, semua tahu bahwa apa yang dilakukannya sia-sia. Ia tidak akan bisa mengembalikan pecahan-pecahan itu utuh seperti semula. Sebab begitulah kiranya, apa yang sedetik berlalu tidak bisa ditarik kembali menjadi masa depan.

Novel Keindahan dan Kepiluan, karya Yanusari Kawabata, sejak halaman pertama sudah menyuguhkan keberangkatan ke dalam dunia yang puitis. Oki berada di dalam kereta menuju ke Kyoto untuk mendengarkan dentang lonceng tahun baru. Kesunyian menyergapnya dalam gerbong yang hanya dirinya seorang. Pikirannya melayang ke kota tujuan; Kyoto dan seorang perempuan bernama Otoko.
blogbohai.blogspot.com

Cerita dalam novel Kawabata ini dimulai dari kesunyian gerbong. Kursi-kursi kosong tampak kaku di tanggal dua puluh sembilan Desember. Momen puitik pun datang ketika Oki teringat pada kenangan—mungkin lebih tepat dikatakan, Oki berusaha menjemput kenangan untuk dijadikan masa depan. Tapi, seperti seorang yang ceroboh ketika menjatuhkan gelas bening. Segala ratapannya sia-sia saja.

Kisah percintaan Oki dan Otoko di masa silam, dapat dikatakan sebagai kisah yang banyak terjadi di kehidupan masyarakat. Baik di Jepang, Indonesia atau di negara mana saja. Oki yang sudah punya istri dan memiliki seorang bocah, mendapatkan solusi lain untuk tetap menjaga hasrat kelelakiannya lewat percintaan semu (yang berujung abadi) dengan seorang perempuan muda berumur enam belas tahun, Otoko. Hingga akhirnya, kemuliaan moral mengutuk keduanya dengan perpisahan setelah anak yang dikandung Otoko mati waktu dilahirkan. Ratapan kehilangan menghantam seorang ibu muda dan seorang lelaki tua ketika ditinggal kekasihnya minggat ke Kyoto.
Itulah kemunculan pertama momen puitik dalam novel Keindahan dan Kepiluan. Moral yang diabaikan mengutuk keindahan menjadi kepiluan. Sebab kesucian pernikahan tidak bisa diam ketika dinodai oleh sesuatu yang dapat mengganggu kebahagiaan. Pada mulanya, istri Oki mungkin tidak tahu fenomena di balik layar kehidupannya, tapi bagaimana bisa sebuah gunung yang mengandung api membara tidak meletus selamanya atau laut yang diam tidak menyimpan kegetiran? Selamat tinggal pada segala yang indah pun mereka sampaikan dalam kemurungan-kemurungan.

Jika seseorang rapi menyimpan rahasia-rahasianya, itu berarti ia sedang berusaha meledakkan sebuah bom dengan cara sebaik-baiknya. Paling beruntungnya orang yang meledakkan bom adalah mendengarkan dentumannya yang dahsyat. Ia tidak bisa menghindar dari suara ledakan, tapi bisa menyelamatkan diri supaya tidak luka. Ia bisa mendapat perlindungan dari kejaran aparat keamanan, tapi tidak bisa bersembunyi dari ingatannya sendiri tentang sesuatu yang sudah diledakkan.

Cerita yang getir seperti ini juga terkandung dalam cerpen Ryonusuke Akutagawa. Judul cerpennya Lukisan Neraka, menghadirkan momen puitik di akhir cerita. Ketika kereta dibakar atas permintaan tokoh aku, lantaran hasratnya melukis neraka dan segala kejadian di dalamnya, lidah api menjulur-julur dan seorang gadis di dalam kereta sedang terikat dan meronta. Tahulah si aku bahwa ternyata bangsawan yang ada di dalam gerbong itu adalah anak perempuannya.

Lagi-lagi kegilaan imajinasi yang membenturkan moral dengan kebebasan berekspresi. Hasrat yang berlebih-lebihan dalam menunaikan suatu keinginan, sering tidak mengindahkan ketertiban etika. Tapi dalam ruang waktu yang punya pertalian sebab akibat, segala sesuatu berjalan sesuai struktur alam.

Setelah Oki berkunjung ke Kyoto, cerita menjadi bercabang dengan kehadiran tokoh Keiko, kekasih sejenis Otoko. Kemunculannya yang tiba-tiba membuat cerita lebih luas. Karakternya sebagai gadis muda mudah meletup-letup. Hingga kegilaan pikirannya mengantarkannya untuk berkunjung ke rumah Oki. Dengan dalih membalaskan dendam kekasihnya, Otoko, yang dibiarkan terlantar selama puluhan tahun.

Anehnya, pembalasan dendam Keiko kepada Oki dan Taichiro, anaknya, itu dilakukan dengan cara yang tak terduga oleh Otoko. Ayah dan anak diajak berkencan pada waktu berlainan, persetubuhan membuat Keiko merasa menang.

Kegetiran dan keindahan saling bertubrukan membentuk siklus. Tapi dalam putaran waktu selalu ada jeda, pemutus antara yang terang dan rahasia. Keindahan merangkai dunianya sendiri dari serpihan-serpihan kesedihan. Sebaliknya, kesedihan memasang ancang pengibaran bendera pada momentum yang tepat dari kisi-kisi keindahan.

Daya yang dilambungkan ke langit, ujung-ujungnya harus tetap mengakar di bumi. Demi terciptanya sebuah relasi sesama makhluk. Selama kebutuhan makan dan minum masih menjadi sesuatu yang wajib dilaksanakan. Karena bagaimanapun juga, setiap keadaan yang berada di luar batas akal pada akhirnya akan tampak dalam kenyataan.



Previous
Next Post »
Thanks for your comment